Senin, 16 April 2012

Pembatasan BBM, Langkah Awal

Mudah-mudahan kali ini pemerintah lebih serius dan tidak lagi ragu membatasi BBM bersubsidi. Penurunan harga minyak mentah sepekan terakhir kemungkinan berlanjut hingga akhir tahun. Tahun ini, ratarata Indonesia crude price (ICP), harga minyak mentah Indonesia, kemungkinan di bawah US$ 105 per barel, harga yang menjadi asumsi APBNP 2012. Jika itu terjadi, APBN tahun ini cukup aman.

Menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) sudah pasti menjadi kebijakan yang tidak bisa dielakkan pemerintah pada masa akan datang. Siapa pun presiden RI, menaikkan harga BBM dan konversi energi dari BBM ke bahan bakar gas (BBG) adalah sebuah keharusan. Pemerintah juga harus lebih giat dan kreatif dalam mencari energi alternatif. Indonesia kini sudah menjadi net oil importer.

Untuk memenuhi kebutuhan BBM yang terus meningkat setiap tahun, pemerintah lewat PT Pertamina terus mengimpor minyak mentah dan BBM. Dengan tingkat harga yang relatif rendah akibat besarnya subsidi, konsumsi BBM terus membengkak Defisit energi minyak tahun 2011 sebesar US$ 12,15 miliar dan bakal mencapai US$ 20,67 miliar pada 2012. Ekspor minyak mentah dan produk minyak Indonesia tahun 2011 hanya US$ 18,61 miliar, sedangkan impor pada tahun yang sama mencapai US$ 39,28 miliar. Dengan cadangan minyak mentah sudah menipis, konsumsi BBM bersubsidi perlu dibatasi sebagai langkah melepas ketergantungan terhadap BBM.

Konsumsi BBM bersubsidi terus meningkat dari 38,2 juta kiloliter pada 2010 menjadi 41,7 juta kiloliter pada 2011. Jika tidak dibatasi, konsumsi BBM bersubsidi tahun ini bakal menembus 43 juta kiloliter. Pemerintah dan DPR RI sudah sepakat mematok konsumsi BBM bersubsidi tahun ini 40 juta kiloliter. Kenaikan konsumsi mendorong subsidi BBM yang pada APBN-P 2012 dipatok maksimal Rp 137,4 triliun.

Salah satu cara efektif untuk mengerem konsumsi BBM adalah harga. Jika harga tinggi atau tidak jauh dari harga pasar, konsumsi BBM per individu akan menurun. Orang akan berpikir seribu kali untuk menggunakan kendaraan pribadi. Kalaupun menggunakan kendaraan pribadi untuk bepergian, pergerakan harus dibatasi. Harga BBM yang murah memicu konsumsi yang tidak terkontrol.

Salah satu kelemahan subsidi BBM selama ini, yang selalu mendapat kritik tajam dari para pengamat adalah penikmatnya yang justru lebih banyak dari kalangan menengah atas. Itulah kelemahan subsidi harga, bukan subsidi langsung kepada rakyat tidak mampu. Menaikkan harga BBM bersubsidi dan memberikan bantuan langsung kepada rakyat tidak mampu adalah solusi tepat.

Tapi, bantuan kepada rakyat miskin bukanlah berupa uang tunai seperti 2005-2006, dan 2008. Bantuan langsung tunai (BLT) pada dua periode itu sama sekali tidak menaikkan kesejahteraan rakyat miskin dan hampir miskin, selain tidak sesuai sasaran. Setelah menerima uang tunai dan membelanjakannya, mereka kembali miskin. Karena mereka diberikan ikan, bukan kail dan tidak diajari cara menggunakan kail dengan baik, mereka tetap berkubang dalam kemiskinan.

BLT bahkan menjadi ajang mencari dukungan politik. Mereka yang tidak berhak pun memperoleh BLT asalkan dekat dengan pejabat desa dan kecamatan. BLT terbukti menjadi bahan kampanye daya tarik paling manjur bagi incumbent dan partai berkuasa. Tidak ada satu kandidat pun yang mampu membelanjakan dana di atas Rp 15 triliun untuk rakyat miskin dan hampir miskin saat kampanye.

Subsidi BBM juga membuka peluang penyelundupan. Sebagai negeri kepulauan dengan wilayah laut yang luas, disparitas harga BBM antara Indonesia dan negara tetangga memicu penyelundupan di lepas pantai. Aparat keamanan RI yang terbatas dalam jumlah dan peralatan sulit mencegah pergerakan kapal ikan asing. Para nelayan asing dengan kapal dan peralatan yang canggih dengan leluasa mencuri ikan dan membeli BBM bersubsidi Indonesia.

Walau menaikkan harga adalah opsi terbaik, saat ini kita tidak perlu membuang energi untuk mendorong kenaikan harga BBM. Jauh lebih konstruktif kita mendukung pemerintah membatasi pemakaian BBM bersubsidi dan melakukan konversi BBM ke BBG, terutama untuk transportasi. Rapat paripurna DPR RI, 31 Maret 2012 sudah memutuskan untuk menyerahkan kepada pemerintah wewenang menaikkan dan menurunkan harga BBM dengan syarat. Jika rata-rata harga minyak mentah setahun terakhir 15% di atas atau di bawah US$ 105 per barel, harga patokan APBN-P 2012, pemerintah dipersilakan menaikkan atau menurunkan harga BBM.

Pembatasan yang terlalu ekstrem memang tidak adil bagi masyarakat menengah karena angkutan umum massal di Jakarta dan kota-kota besar di Indonesia masih sangat terbatas di samping tidak aman dan nyaman. Sungguh pun demikian, dalam keterbatasan ini, pemerintah bisa mulai mengambil langkah sistematis membatasi penggunaan premium dan solar bersubsidi.

Pertama, mendata dengan akurat rakyat pengguna kendaraan pribadi yang layak mendapat subsidi. Kedua, mereka yang pantas disubsidi diberikan kartu subsidi BBM. Mereka mengisi BBM di SPBU dengan kartu itu. Ketiga, besarnya subsidi BBM per bulan— yang diukur dengan jumlah liter premium atau solar yang dipakai dikalikan harga subsidi— tertera dalam kartu. Yang disubsidi hanyalah penggunaan BBM untuk perjalanan sangat penting, yakni pergi-pulang tempat kerja, ke sekolah anak, pasar, serta sejumlah tempat dan acara penting. Cara ini merangsang kaum tidak mampu yang menggunakan kendaraan pribadi untuk berhemat. Seperti kartu e-toll, jika jatah subsidi BBM sudah habis, premium atau solar di SPBU tidak bisa lagi mengucur ke tangki pemegang kartu.

Pembatasan penggunaan BBM bersubsidi hanyalah langkah awal untuk menapak pada solusi yang lebih strategis dan penting. Solusi lain adalah konversi BBM ke BBG untuk transportasi dan industri. Masalah gas dari hulu hingga hilir harus segera dibereskan. Di hulu, pemerintah perlu memberikan rangsangan kepada perusahaan untuk menemukan sumur gas baru. Gas yang dihasilkan harus diprioritaskan bagi kebutuhan dalam negeri, baik untuk transportasi, industri, maupun rumah tangga.

Di level antara, pemerintah perlu mendorong PT Perusahaan Gas Negara (PGN) untuk membangun pipa gas di sentra konsumsi dan berbagai infrastruktur penunjang. Sedangkan di hilir, pembangunan stasiun pengisian bahan bakar gas harus lebih didorong dengan berbagai insentif.

Kendaraan pribadi, baik mobil maupun sepeda motor, harus memiliki fasilitas untuk pengisian BBG. Tidak ada alasan bagi pemilik kendaraan untuk tidak menggunakan BBG karena alasan tidak ada fasilitas. Semua kendaraan umum wajib menggunakan BBG. Bersamaan dengan itu, pemerintah lebih serius membangun sistem dan infrastruktur transportasi. Angkutan umum tidak saja berbasis bus, melainkan juga monorel, mass rapit transit (MRT), dan kereta api biasa.

Ini semua hanya mungkin terlaksana jika pemerintah memiliki kebijakan energi nasional dan kebijakan transportasi umum yang baik. Pembatasan penggunaan BBM bersubsidi kita dukung penuh, tapi itu hanya langkah awal

Ibnu Syahreza

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Harap berkomentar dengan bahasa sopan